Bay-Ma'turidi.
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri
serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak
definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
- Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
- Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
- Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota
badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan
syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah
(fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan
dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن
يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya
Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
[Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan
jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza
wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi
merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka
barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang
beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia
adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya
hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang
mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok,
yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan
khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul
unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْوَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya
kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
[Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada
Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah
kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang
beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5].
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia
adalah mukmin muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu
bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak)
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami,
maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan
ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
- Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
- Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa
ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah
dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul,
mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang
diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ
لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi
Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
[Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah
kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu
kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah
kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka
hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu
pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya.
Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan
mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu
sesat.[7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua
syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
Jawabnya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan
ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping
beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ
الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama
kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan
melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah
kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan
dirinya di dalam Tasyri’.
Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita
[8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia
telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna
(mempunyai kekurangan).
Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah
dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki
caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di
dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan
dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan
perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut
syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang
dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus
para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji
dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي
سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan
Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau
beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’”
[Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit
atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam
kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang
agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan
ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa
dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan
manusiawi. Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat
membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat
membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh)
kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman,
demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan
kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya
kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu
adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap
(bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah
merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada
Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari
Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama,
bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan
kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya,
maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah
kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa
yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah
semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan
manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya. Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta
menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah
kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada
kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini
Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah
saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang
lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan
ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan
kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari
itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut
hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah
merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat
dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
No comments:
Post a Comment